Komunitas Adat TANGGAP DARURAT SULTENG 

Berkenalan dengan Suku Da’a di Bulu Kondo

Oleh; Arman Seli

Terik Matahari mengiringi perjalanan kami (saya dan Delsius) menuju Desa Tuva dan Omu, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi. Tujuan kami bukan ke dua desa tersebut, melainkan ke masyarakat adat Suku Da’a atau juga disebut Topoda’a (Orang Da’a) yang bermukim disekitar hutan pegunungan Kondo (Bulu Kondo).  

Bermula dari adanya informasi dari relawan yang bertugas di Desa Tuva, bahwa ada Suku Da’a berada di sekitar hutan Bulu Kondo yang dekat dengan dua desa tersebut belum mendapatkan bantuan sama sekali, sejak kejadian bencana di Sulawesi Tengah (Gempa, Tsunami, serta Banjir yang baru-baru ini melanda didaerah tersebut). Kami berdua, sebagai Tim Tanggap Darurat AMAN bermaksud untuk memastikan informasi diatas, juga membawa logistik untuk Suku Da’a tersebut.

Sekitar satu jam perjalanan dari sekretariat Pengurus Wilayah AMAN di Palu, kami tiba di sebuah kios di Desa Omu. Kamipun membeli dua botol air mineral, sengaja bertanya kepada pemilik kios tersebut untuk mencari keterangan keberadaan Suku Da’a di desa mereka.

“Orang Da’a di gunung situ dorang, jauh itu”, kata pemilik kios sambil menunjuk pengunungan yang ada di sekitar desa. Kamipun berterimakasih kepada perempuan pemilik kios itu, meskipun informasinya belum jelas jalan mana yang harus kita tempuh untuk ke lokasi yang ditunjukkan.

Kamipun melanjutkan perjalanan. Ada seorang pemuda duduk diatas motor di pinggir jalan. Kami bertanya hal yang sama. Pemuda tersebut menunjukkan rumah kepala Dusun 3 Desa Omu, yang sekitar seratus meter dari tempat kita berdiri. Sebelumnya kepala dusun ini, memang sudah kami telpon.  

Kepala Dusun, mengarahkan kami ke rumah seorang pendeta yang memimpin gereja darurat di desa tersebut. Pendeta kemudian membawa kami ke lokasi hunian Suku Da’a yang dijelaskannya dan memperkenalkan kami kepada Mangge Kose, seorang laki-laki tua dari Suku Da’a yang kami cari.

Kose terlihat tersenyum saat menyambut kami. Warga suku Da’a tersebut menyambut hangat kami di pengungsian. Saya yang bisa berbahasa Da’a membuat komunikasi menjadi lancar. Perlu diketahui, bahwa dari 9 kk Suku Da’a yang ada pengungsian tersebut hanya satu orang yang bisa berbahasa Indonesia.

 Tonji Seko, sebagai tanda alam 

Suku Da’a mengungsi karena pemukiman dan lahan pertanian mereka terkena longsor. Mangge Kose menceritakan tentang gempa dan longsor yang terjadi di perkampungan mereka beberapa waktu yang lalu.

Menurut keterangannya, sebelum terjadi gempa dan longsor di sekitar perkampungan mereka, mereka sering mendengar suara Tonji Seko (Nama jenis Burung). Mereka menyakini bahwa suara Tonji Seko tersebut merupakan pertanda bahwa akan terjadi musibah. Kepercayaan ini sejak dari leluhur mereka. 

“Naria tonji seko nomoni, kana nariamo inga kami. Nuapa tomajadi ?” (Ada Burung Seko berbunyi, membuat kami Waspada. Apa yang terjadi ?), jelas Kose. Akibat dari “peringatan” Tonji Seko tersebut, Kose mengatakan bahwa semua warganya selamat dari bencana longsor, meskipun rumah mereka rusak.

Sou kami ri kondo nagero pura, tapi nasikuru kami da’a ria nakuya” (rumah kami rusak di Kondo, tetapi syukur kami baik-baik saja).

“Panguli totu’a nokolu, ane maria seko kana naria kareba to niulina etu” (Menurut leluhur, kalau ada seko berbunyi berarti ada yang dia kabar yang ia sampaikan)

Tarima kasi kami, naria komi nombavai ose, gola, kopi. Medodo doa nte pue ala ta’ala rapakadea rajaki, maseha, mandate umuru” (Terimah Kasih, ada kalian yang memberi beras, gula, kopi. Semoga tuhan yang maha esa memberikan rezeki yang banyak, sehat dan di panjangkan umur), pungkasnya.

Sejarah Suku Da’a di Bulu Kondo 

Saya tertarik untuk menggali informasi tentang keberadaan Suku Da’a di daerah ini. Karena yang saya pahami, masyarakat adat Suku Da’a atau Topoda’a pada umumnya berada di kaki Gunung Kamalisi (Gawalise). Mereka merupakan masyarakat peladang dan pengumpul rotan.  

Keberadaan Suku Da’a yang mendiami daerah Bulu Kondo di sekitar Desa Omu dan Tuva menarik perhatian kami untuk menelusuri lebih jauh tentang masyarakat adat ini. Pasalnya, sepengetahuan penulis Suku Da’a berasal dari Kaki Gunung Kamalisi yang lokasinya cukup jauh dengan Pegunungan Kondo.

 Selama ini yang kami tahu persebaran masyarakat adat Suku Da’a lebih cenderung ke daratan Palolo. Ada beberapa di wilayah adat Kasoloa seperti; Ngata Ntoli, Mbuvu, Lumbulama dan Malino.

Menurut penuturan Mangge Kose, 20 tahun silam mereka pindah ke daerah ini pertama kali bertujuan untuk mencari rotan atau merotan (Nelauro dalam bahasa Da’a).

Sebelumnya mereka bermukim di Panesibaja, Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Dongga (sekarang Sigi). Kemudian mereka menetap di daerah pegunungan Kondo ini karena tanahnya subur untuk bercocok tanam, hingga sekarang.

Suku Da’a yang tinggal didaerah ini ada 12 keluarga, dimana 9 keluarga di Desa Tuva dan 3 keluarga di Desa Omu. Proses kawin-mawin selama ini mereka lakukan hanya diantara Suku Da’a. 

Anak-anak mereka tidak satupun yang bersekolah di sekolah formal. Selain tidak ada sekolah formal di perkampungan mereka, jarak ke desa terdekat cukup jauh dari pemukiman mereka yang berada di kaki gunung Kondo.

Selain itu, mereka juga tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dibutuhkan dalam proses administrasi. Hal itu mungkin disebabkan karena mereka sering berpindah tempat untuk berladang disekitar pegunungan tersebut.

Kendala lainnya adalah tentang Bahasa. Dari 9 keluarga yang kami temui, hampir semunya tidak bisa berbahasa Indonesia. Hanya satu orang yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Bahasa juga menjadi kendala Suku Da’a dalam berinteraksi dan komunikasi dengan masyarakat luar (masyarakat Desa Omu dan Desa Tuva yang notabene berbeda bahasanya dengan Suku Da’a).

Oleh karena itu, mereka cenderung diam saat ditemui orang luar. Padahal pada dasarnya mereka ramah. Apalagi kalo kita bisa berkomunikasi dengan mereka menggunakan Bahasa Da’a, seperti yang saya lakukan. Bahkan Mangge Kose terkejut ketika  berkomunikasi dengan dia menggunakan bahasa Da’a yang mereka gunakan sehari-hari.

Sejauh ini saya belum mendalami struktur sosial yang berlaku dalam kehidupan mereka. Kami tidak tahu siapa ketua kelompok atau ketua adatnya. Hanya saja menurut pengamatan kami dilapangan, Mangge Kose lebih dominan berbicara dengan kami dengan ramah. 

(Penulis adalah Penggiat Masyarakat Adat)

Related posts

Leave a Comment